Kamis, 18 Oktober 2012

Bank Kian Tidak Efisien Tanpa Outsourcing

Diperketatnya praktik outsourcing merupakan salah satu kado tahun baru terindah bagi kaum pekerja Indonesia. Namun di sisi lain hal itu bisa berarti tambahan biaya bagi pengusaha.
 
 Awal tahun 2012 ini bisa jadi kurang menyenangkan bagi banyak pengusaha. Keputusan Mahkamah Konstitusi menganulir beberapa ketentuan UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan pada 17 Januari lalu, berpotensi menggelembungkan beban operasional perusahaan. Penghapusan frase “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b dalam beberapa hal berimplikasi pada “haramnya” sistem outsourcing bagi perusahaan. Perusahaan kini tidak bisa seenaknya lagi menggunakan praktik outsourcing. Menurut MK, pekerjaan yang memiliki obyek tetap tak bisa lagi dikerjakan lewat mekanisme kontrak atau outsourcing.

Sebelumnya, pada 9 Desember 2011, Bank Indonesia sudah lebih dulu menerbitkan PBI No 13/25/PBI/2011 tentang Prinsip Kehati-hatian bagi Bank Umum yang Melakukan Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Pihak Lain. Peraturan ini menjadi payung bagi praktik outsourcing di industri perbankan nasional. Dalam PBI tersebut, pekerjaan di bank dibedakan dalam dua kelompok berdasarkan sifatnya, yakni pekerjaan pokok dan pekerjaan penunjang. Pekerjaan penunjang inilah yang diperbolehkan untuk di-outsource-kan atau dialih dayakan kepada pihak ketiga. (lihat Stabilitas Edisi Januari 2012, “Biar Outsourcing Tak Lagi Bikin Pusing”).

Menurut BI, pekerjaan pokok adalah pekerjaan yang harus ada dalam alur kegiatan usaha atau alur kegiatan pendukung usaha bank. Artinya, jika pekerjaan itu tidak ada ataupun bermasalah, kinerja operasional inti bank juga akan kacau.Yang termasuk dalam kategori ini misalnya account officer dan credit analyst pada alur kegiatan pemberian kredit, serta customer service, customer relation dan teller pada alur kegiatan penghimpunan dana.

Sementara pekerjaan penunjang adalah pekerjaan yang tidak harus ada dalam alur kegiatan usaha atau alur kegiatan pendukung usaha bank. Tanpa jenis pekerjaan ini, kinerja operasional bank tetap bisa berjalan lancar. Untuk masuk dalam kategori penunjang, suatu pekerjaan harus memenuhi tiga kriteria, yakni berisiko rendah, tidak membutuhkan kualifikasi kompetensi perbankan yang tinggi, dan tidak terkait langsung dengan proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi operasional bank. Yang termasuk dalam kategori ini misalnya call center, aktivitas pemasaran (telemarketing, direct sales/ sales representative), penagihan, jasa kurir, sekuriti, messenger, office boy dan sekretaris.
Sebenarnya pengkategorian jenis pekerjaan yang bisa dialihdayakan seperti dalam aturan PBI tersebut sudah termaktub dalam pasal 65 ayat 2 UU No 13/ 2003. Namun, putusan MK yang menghilangkan frase “…perjanjian kerja waktu tertentu” makin mempersempit ruang gerak praktik outsourcing. Perusahaan tak lagi memiliki kesempatan untuk mengalih dayakan pekerjaan yang durasi objek pekerjaannya tetap meskipun itu bersifat penunjang.

Putusan MK tersebut membuka celah penafsiran baru terhadap implementasi PBI No 13/25/PBI/2011.PBI yang terbit sebelum putusan MK, masih mendasarkan praktik outsourcing sesuai UU sebelum putusan, yakni hanya berdasarkan sifat objek pekerjaannya: pokok atau penunjang. Tentunya dengan menambahkan penerapan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko. Jika berpegang pada UU setelah putusan MK, pekerjaan-pekerjaan yang bersifat penunjang di bank namun memiliki durasi obyek tetap seperti pekerjaan pengamanan, penagihan, dan kurir tidak boleh lagi dialih dayakan.

Tren Ekonomi Baru
Praktik outsourcing sejatinya sudah ada sejak dahulu. Secara tradisional, outsourcing digambarkan sebagai pemberian sub-kontrak jasa dari perusahaan ke perusahaan lain. Outsourcing tak sekedar perjanjian pembuatan bahan baku atau barang setengah jadi dengan suatu standar kualitas yang sudah ditentukan pemberi sub-kontrak. Outsourcing juga tak sekedar pelimpahan sebagian jasa penunjang operasional perusahaan pada perusahaan lain. Lebih dari itu, outsourcing merupakan proses membangun kemitraan hubungan bilateral yang menyediakan barang dan jasa sesuai kebutuhan dalam kerangka memaksimalkan profitabilitas perusahaan.

Jaringan transnasional para imigran di AS yang didukung dengan kemajuan teknologi informasi membawa outsourcing ke dalam tren baru ekonomi. Hal ini makin menguat dengan maraknya gerakan liberalisasi pasar diberbagai kawasan. Sistem outsourcing pun mewabah sejak awal 1990-an. Tak lagi hanya antar perusahaan dalam suatu negara, tapi juga antar perusahaan lintas negara atau yang dikenal dengan offshoring.

Dengan outsourcing, perusahaan mengarah pada suatu bentuk produsen “virtual”. Perusahaan kini lebih berkonsentrasi pada operasi inti untuk mencapai efisiensi maksimal. Dalam era outsourcing, perusahaan bisa memiliki banyak produk namun tak perlu memproduksinya sendiri. Kutipan laporan tahunan 1998 dari WTO sebagaimana dikutip dari Grossmann dan Helpman (2002) mungkin bisa menjadi gambaran. Menurut laporan tersebut hanya 37 persen nilai produksi mobil Amerika Serikat yang dihasilkan di negerinya sendiri. Sisanya terbang ke berbagai negara. Sekitar 30 persen untuk perakitan di Korea Selatan, 17,5 persen untuk komponen dan teknologi canggih Jepang, 7,5 persen ke desain Jerman, 4 persen ke komponen kecil Taiwan dan Singapura, 2,5 persen untuk layanan iklan dan pemasaran Inggris, dan 1,5 persen untuk pengolahan data di India dan Barbados.

Pertanyaannya sekarang, seberapa menguntungkan sistem outsourcing bagi perusahaan? Apakah sistem tersebut bisa memperbesar tingkat profitabilitas perusahaan? Akankah perusahaan menjadi lebih kompetitif? Tentu saja. Secara teoritis, perusahaan bisa lebih kompetitif dengan memaksimalkan profit. Outsourcing, dalam banyak hal, bisa menjadi solusi bagi persoalan umum perusahaan: inefisiensi.

Outsourcing pada dasarnya berpijak pada keunggulan komparatif suatu perusahaan. Meminjam teori David Ricardo, suatu perusahaan lebih baik “membeli” daripada “memproduksi”sendiri material pembentuk produknya. Dengan kata lain, perusahaan akan lebih bisa memaksimalkan keuntungan jika berfokus pada operasi intinya. Gambaran lebih rinci bisa ditarik dari kurva biaya rata-rata neo-klasik Wicksell. Pada saat kurva biaya rata-rata menurun, sebenarnya pada fungsi produksi terjadi proses kenaikan laba, dan begitupun sebaliknya. Saat biaya rata-rata sampai pada titik minimum, pada fungsi produksi berlaku asumsi constant return to scale. Outsourcing merupakan salah satu solusi untuk menurunkan biaya rata-rata dari sebuah produk.

Implikasi bagi Bank

Lantas kenapa praktik outsourcing seringkali menimbulkan kontroversi? Dalam jangka panjang, perusahaan akan makin efisien, kompetitif dan lebih profitable. Secara makro, akumulasi keuntungan perusahaan akan meningkatkan pendapatan nasional. Namun dalam jangka pendek, outsourcing bisa mengurangi lapangan kerja bagi pekerja lokal. Hal inilah yang memicu gelombang protes di AS. Saat ekonomi cenderung resesi dan banyak pengangguran, banyak perusahaan AS yang justru mengalih dayakan operasionalnya ke negara lain.

Praktik outsourcing juga sering menimbulkan masalah disaat perusahaan pemberi sub-kontrak kehilangan kendali atas perusahaan jasa outsourcing. Dalam kasus debt collector misalnya. Kematian nasabah kartu kredit, Irzen Octa menghancurkan reputasi Citibank. Tak cuma itu, kasus tersebut juga memicu tuntutan perbaikan sistem outsourcing bagi industri perbankan nasional secara keseluruhan. Praktik outsourcing pun diperketat.

Bank kini tak lagi mudah menggunakan jasa outsourcing. Artinya akan ada tambahan beban tenaga kerja terutama dari pos gaji dan tunjangan. Padahal sebagaimana sudah menjadi rahasia umum, praktik tersebut sudah banyak digunakan dalam operasional bank. Misalnya untuk customer service, teller, dan debt collector.

Tambahan pos pengeluaran untuk gaji dan tunjangan akibat pengetatan praktik outsourcing tersebut tentu akan mendorong terciptanya rasio BOPO yang tinggi. Padahal BOPO yang ada selama ini saja bisa dibilang kurang efisien. Mengacu pada statistik, dalam lima tahun terakhir rasio BOPO industri perbankan Indonesia berada pada kisaran 73 persen hingga 97 persen. Rata-rata BOPO dalam kurun waktu tersebut adalah 86,44 persen. Artinya pendapatan Rp 1 mesti ditebus dengan pengeluaran Rp 0,86. (Lihat Tabel 1. Rasio BOPO Bank Umum Indonesia).

Dibandingkan dengan industri sejenis di kawasan ASEAN, perbankan Indonesia bisa dibilang kurang efisien. Rata-rata rasio BOPO dalam lima tahun terakhir yang sebesar 86,37 persen. Bank umum Malaysia misalnya, beban operasional negeri jiran tersebut hanyasekitar 40 persen dari total pendapatan operasional. Angka yang tak jauh beda terjadi juga di Singapura dan Thailand. Singapura yang sedang bergerak menjadi pusat keuangan baru di Asia membukukan 42 persen untuk rasio BOPO perbankannya. Sementara rasio BOPO perbankan Thailand tercatat 54,3 persen. Bahkan dengan Filipina pun perbankan nasional masih kalah efisien. Rasio BOPO perbankan di negara yang terkenal dengan revolusi people power-nya tersebut sekitar 74 persen. (lihat riset Stabilitas Edisi Januari 2011, “Perbankan Nasional Tak Cukup Besar”).

Kini dengan makin sempitnya ruang outsourcing, kinerja bank nasional berpotensi makin tidak efisien. Mengacu pada data (lihat tabel 2. Jumlah Karyawan Beberapa Bank Nasional), hampir seperlima biaya operasional dialokasikan untuk membayar gaji dan tunjangan karyawan.

Dari 31 bank yang listing di Bursa Efek Indonesia, Danamon menjadi bank dengan jumlah karyawan terbanyak, jauh dari Mandiri dan BRI yang merupakan bank beraset terbesar di Indonesia. Total karyawan Danamon per November 2011 mencapai 61.875 karyawan, bertambah 10.953 karyawan dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Dari total karyawan tersebut, Danamon menggunakan 18.368 karyawan kontrak dimana 8.616 karyawan merupakan karyawan outsourcing. Danamon menghabiskan 23,3 persen dari Rp12,37 triliun total beban operasionalnya.
Ekspansi besar-besaran Danamon membangun Danamon Simpan Pinjam bisa jadi menjadi salah satu sebab signifikannya pertambahan karyawan. Meski begitu, jika dilihat dari rata-rata karyawan di tiap unit kantor, Danamon bukanlah yang terbesar. Danamon hanya menempatkan 37 karyawan per unit kantor.

Bank dengan rata-rata jumlah karyawan per unit kantor terbanyak adalah Panin Bank. Menurut data per November 2011, Panin menempatkan 107 karyawan di tiap kantornya. Total jumlah karyawan Panin sendiri sebenarnya tidak banyak, hanya 5.479 karyawan. Besarnya rata-rata karyawan per kantor yang dimiliki Panin bisa jadi sangat wajar. Kantor layanan Panin hanya ada di kota-kota besar. Jumlah keseluruhan jaringan kantor Panin adalah 51 kantor, yakni 1 kantor pusat, 48 kantor cabang, 1 kantor perwakilan di Singapura, dan 1 kantor cabang di Cayman Islands. Pengeluaran untuk gaji dan tunjangan karyawan Panin hanya menghabiskan 7,3 persen dari total beban operasionalnya.

Dua bank beraset terbesar, Mandiri dan BRI berada dibawah Danamon dalam jumlah tenaga kerja. Meski begitu harus digaris bawahi bahwa jumlah riil kedua bank tersebut bisa jadi lebih banyak. Hal ini karena laporan keuangan keduanya tidak memberi penjelasan secara mendetail seperti Danamon.
Pada periode yang sama, Mandiri memiliki 27.305 karyawan, 2.069 karyawan lebih banyak dibanding periode sebelumnya. Sayangnya tak ada keterangan detail apakah jumlah tersebut karyawan tetap saja atau keseluruhan karyawan. Rata-rata karyawan per unit kantornya adalah 18 orang. Untuk pengeluaran gaji dan tunjangan, Mandiri menghabiskan Rp 4,86 triliun atau sekitar 17,7 persen dari total beban operasional.

Sementara BRI memiliki 38.228 karyawan per November 2011. Dibandingkan bank besar lainnya, BRI relatif adem dalam menambah karyawan. Pada periode ini hanya ada tambahan 584 karyawan. Di tiap unitnya bank tertua di Indonesia ini hanya menempatkan 5 karyawan. Wajar karena jumlah kantornya jauh lebih banyak dibandingkan bank lainnya dan sudah sampai ke pelosok desa. Total kantor BRI mencapai 7.761 unit kantor. Pengeluaran untuk gaji dan tunjangan karyawan BRI menghabiskan 22,1persen dari total Rp 28,23 triliun beban operasionalnya.

Jika mengacu pada data, bank yang paling tidak efisien kebanyakan adalah bank beraset kecil. Bisa jadi hal ini karena skala operasionalnya belum mencapai titik optimal. Tingkat efisiensi bank beraset besar kebanyakan lebih baik dari rata-rata industri. Meski begitu dengan pengetatan kebijakan outsourcing, efisiensi bank besar juga berpotensi menurun. Perlu ada terobosan strategi baru untuk memitigasi risiko inefisiensi operasional bank. Memaksimalkan kapasitas kerja karyawan yang sudah ada dengan teknologi informasi misalnya.
(stabilitas.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar