Diperketatnya praktik outsourcing merupakan salah satu kado
tahun baru terindah bagi kaum pekerja Indonesia. Namun di sisi lain hal
itu bisa berarti tambahan biaya bagi pengusaha.
Awal tahun 2012 ini bisa jadi kurang menyenangkan bagi banyak
pengusaha. Keputusan Mahkamah Konstitusi menganulir beberapa ketentuan
UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan pada 17 Januari lalu, berpotensi
menggelembungkan beban operasional perusahaan. Penghapusan frase
“…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan
“…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b
dalam beberapa hal berimplikasi pada “haramnya” sistem outsourcing bagi perusahaan. Perusahaan kini tidak bisa seenaknya lagi menggunakan praktik outsourcing. Menurut MK, pekerjaan yang memiliki obyek tetap tak bisa lagi dikerjakan lewat mekanisme kontrak atau outsourcing.
Sebelumnya, pada 9 Desember 2011, Bank Indonesia sudah lebih dulu
menerbitkan PBI No 13/25/PBI/2011 tentang Prinsip Kehati-hatian bagi
Bank Umum yang Melakukan Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan
Kepada Pihak Lain. Peraturan ini menjadi payung bagi praktik outsourcing
di industri perbankan nasional. Dalam PBI tersebut, pekerjaan di bank
dibedakan dalam dua kelompok berdasarkan sifatnya, yakni pekerjaan pokok
dan pekerjaan penunjang. Pekerjaan penunjang inilah yang diperbolehkan
untuk di-outsource-kan atau dialih dayakan kepada pihak ketiga. (lihat Stabilitas Edisi Januari 2012, “Biar Outsourcing Tak Lagi Bikin Pusing”).
Menurut BI, pekerjaan pokok adalah pekerjaan yang harus ada dalam alur
kegiatan usaha atau alur kegiatan pendukung usaha bank. Artinya, jika
pekerjaan itu tidak ada ataupun bermasalah, kinerja operasional inti
bank juga akan kacau.Yang termasuk dalam kategori ini misalnya account officer dan credit analyst pada alur kegiatan pemberian kredit, serta customer service, customer relation dan teller pada alur kegiatan penghimpunan dana.
Sementara pekerjaan penunjang adalah pekerjaan yang tidak harus ada
dalam alur kegiatan usaha atau alur kegiatan pendukung usaha bank. Tanpa
jenis pekerjaan ini, kinerja operasional bank tetap bisa berjalan
lancar. Untuk masuk dalam kategori penunjang, suatu pekerjaan harus
memenuhi tiga kriteria, yakni berisiko rendah, tidak membutuhkan
kualifikasi kompetensi perbankan yang tinggi, dan tidak terkait langsung
dengan proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi operasional bank.
Yang termasuk dalam kategori ini misalnya call center, aktivitas pemasaran (telemarketing, direct sales/ sales representative), penagihan, jasa kurir, sekuriti, messenger, office boy dan sekretaris.
Sebenarnya pengkategorian jenis pekerjaan yang bisa dialihdayakan
seperti dalam aturan PBI tersebut sudah termaktub dalam pasal 65 ayat 2
UU No 13/ 2003. Namun, putusan MK yang menghilangkan frase “…perjanjian
kerja waktu tertentu” makin mempersempit ruang gerak praktik outsourcing.
Perusahaan tak lagi memiliki kesempatan untuk mengalih dayakan
pekerjaan yang durasi objek pekerjaannya tetap meskipun itu bersifat
penunjang.
Putusan MK tersebut membuka celah penafsiran baru terhadap implementasi
PBI No 13/25/PBI/2011.PBI yang terbit sebelum putusan MK, masih
mendasarkan praktik outsourcing sesuai UU sebelum putusan,
yakni hanya berdasarkan sifat objek pekerjaannya: pokok atau penunjang.
Tentunya dengan menambahkan penerapan prinsip kehati-hatian dan
manajemen risiko. Jika berpegang pada UU setelah putusan MK,
pekerjaan-pekerjaan yang bersifat penunjang di bank namun memiliki
durasi obyek tetap seperti pekerjaan pengamanan, penagihan, dan kurir
tidak boleh lagi dialih dayakan.
Tren Ekonomi Baru
Praktik outsourcing sejatinya sudah ada sejak dahulu. Secara tradisional, outsourcing digambarkan sebagai pemberian sub-kontrak jasa dari perusahaan ke perusahaan lain. Outsourcing
tak sekedar perjanjian pembuatan bahan baku atau barang setengah jadi
dengan suatu standar kualitas yang sudah ditentukan pemberi sub-kontrak.
Outsourcing juga tak sekedar pelimpahan sebagian jasa penunjang operasional perusahaan pada perusahaan lain. Lebih dari itu, outsourcing
merupakan proses membangun kemitraan hubungan bilateral yang
menyediakan barang dan jasa sesuai kebutuhan dalam kerangka
memaksimalkan profitabilitas perusahaan.
Jaringan transnasional para imigran di AS yang didukung dengan kemajuan
teknologi informasi membawa outsourcing ke dalam tren baru ekonomi. Hal
ini makin menguat dengan maraknya gerakan liberalisasi pasar diberbagai
kawasan. Sistem outsourcing pun mewabah sejak awal 1990-an.
Tak lagi hanya antar perusahaan dalam suatu negara, tapi juga antar
perusahaan lintas negara atau yang dikenal dengan offshoring.
Dengan outsourcing, perusahaan mengarah pada suatu bentuk
produsen “virtual”. Perusahaan kini lebih berkonsentrasi pada operasi
inti untuk mencapai efisiensi maksimal. Dalam era outsourcing,
perusahaan bisa memiliki banyak produk namun tak perlu memproduksinya
sendiri. Kutipan laporan tahunan 1998 dari WTO sebagaimana dikutip dari
Grossmann dan Helpman (2002) mungkin bisa menjadi gambaran. Menurut
laporan tersebut hanya 37 persen nilai produksi mobil Amerika Serikat
yang dihasilkan di negerinya sendiri. Sisanya terbang ke berbagai
negara. Sekitar 30 persen untuk perakitan di Korea Selatan, 17,5 persen
untuk komponen dan teknologi canggih Jepang, 7,5 persen ke desain
Jerman, 4 persen ke komponen kecil Taiwan dan Singapura, 2,5 persen
untuk layanan iklan dan pemasaran Inggris, dan 1,5 persen untuk
pengolahan data di India dan Barbados.
Pertanyaannya sekarang, seberapa menguntungkan sistem outsourcing bagi
perusahaan? Apakah sistem tersebut bisa memperbesar tingkat
profitabilitas perusahaan? Akankah perusahaan menjadi lebih kompetitif?
Tentu saja. Secara teoritis, perusahaan bisa lebih kompetitif dengan
memaksimalkan profit. Outsourcing, dalam banyak hal, bisa menjadi solusi bagi persoalan umum perusahaan: inefisiensi.
Outsourcing pada dasarnya berpijak pada keunggulan komparatif
suatu perusahaan. Meminjam teori David Ricardo, suatu perusahaan lebih
baik “membeli” daripada “memproduksi”sendiri material pembentuk
produknya. Dengan kata lain, perusahaan akan lebih bisa memaksimalkan
keuntungan jika berfokus pada operasi intinya. Gambaran lebih rinci bisa
ditarik dari kurva biaya rata-rata neo-klasik Wicksell. Pada saat kurva
biaya rata-rata menurun, sebenarnya pada fungsi produksi terjadi proses
kenaikan laba, dan begitupun sebaliknya. Saat biaya rata-rata sampai
pada titik minimum, pada fungsi produksi berlaku asumsi constant return to scale. Outsourcing merupakan salah satu solusi untuk menurunkan biaya rata-rata dari sebuah produk.
Implikasi bagi Bank
Lantas kenapa praktik outsourcing seringkali menimbulkan
kontroversi? Dalam jangka panjang, perusahaan akan makin efisien,
kompetitif dan lebih profitable. Secara makro, akumulasi keuntungan
perusahaan akan meningkatkan pendapatan nasional. Namun dalam jangka
pendek, outsourcing bisa mengurangi lapangan kerja bagi pekerja
lokal. Hal inilah yang memicu gelombang protes di AS. Saat ekonomi
cenderung resesi dan banyak pengangguran, banyak perusahaan AS yang
justru mengalih dayakan operasionalnya ke negara lain.
Praktik outsourcing juga sering menimbulkan masalah disaat perusahaan pemberi sub-kontrak kehilangan kendali atas perusahaan jasa outsourcing. Dalam kasus debt collector
misalnya. Kematian nasabah kartu kredit, Irzen Octa menghancurkan
reputasi Citibank. Tak cuma itu, kasus tersebut juga memicu tuntutan
perbaikan sistem outsourcing bagi industri perbankan nasional secara keseluruhan. Praktik outsourcing pun diperketat.
Bank kini tak lagi mudah menggunakan jasa outsourcing. Artinya
akan ada tambahan beban tenaga kerja terutama dari pos gaji dan
tunjangan. Padahal sebagaimana sudah menjadi rahasia umum, praktik
tersebut sudah banyak digunakan dalam operasional bank. Misalnya untuk customer service, teller, dan debt collector.
Tambahan pos pengeluaran untuk gaji dan tunjangan akibat pengetatan praktik outsourcing
tersebut tentu akan mendorong terciptanya rasio BOPO yang tinggi.
Padahal BOPO yang ada selama ini saja bisa dibilang kurang efisien.
Mengacu pada statistik, dalam lima tahun terakhir rasio BOPO industri
perbankan Indonesia berada pada kisaran 73 persen hingga 97 persen.
Rata-rata BOPO dalam kurun waktu tersebut adalah 86,44 persen. Artinya
pendapatan Rp 1 mesti ditebus dengan pengeluaran Rp 0,86. (Lihat Tabel
1. Rasio BOPO Bank Umum Indonesia).
Dibandingkan dengan industri sejenis di kawasan ASEAN, perbankan
Indonesia bisa dibilang kurang efisien. Rata-rata rasio BOPO dalam lima
tahun terakhir yang sebesar 86,37 persen. Bank umum Malaysia misalnya,
beban operasional negeri jiran tersebut hanyasekitar 40 persen dari
total pendapatan operasional. Angka yang tak jauh beda terjadi juga di
Singapura dan Thailand. Singapura yang sedang bergerak menjadi pusat
keuangan baru di Asia membukukan 42 persen untuk rasio BOPO
perbankannya. Sementara rasio BOPO perbankan Thailand tercatat 54,3
persen. Bahkan dengan Filipina pun perbankan nasional masih kalah
efisien. Rasio BOPO perbankan di negara yang terkenal dengan revolusi people power-nya tersebut sekitar 74 persen. (lihat riset Stabilitas Edisi Januari 2011, “Perbankan Nasional Tak Cukup Besar”).
Kini dengan makin sempitnya ruang outsourcing, kinerja bank nasional berpotensi makin tidak efisien. Mengacu pada data (lihat tabel
2. Jumlah Karyawan Beberapa Bank Nasional), hampir seperlima biaya
operasional dialokasikan untuk membayar gaji dan tunjangan karyawan.
Dari 31 bank yang listing di Bursa Efek Indonesia, Danamon
menjadi bank dengan jumlah karyawan terbanyak, jauh dari Mandiri dan BRI
yang merupakan bank beraset terbesar di Indonesia. Total karyawan
Danamon per November 2011 mencapai 61.875 karyawan, bertambah 10.953
karyawan dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Dari total
karyawan tersebut, Danamon menggunakan 18.368 karyawan kontrak dimana
8.616 karyawan merupakan karyawan outsourcing. Danamon menghabiskan 23,3 persen dari Rp12,37 triliun total beban operasionalnya.
Ekspansi besar-besaran Danamon membangun Danamon Simpan Pinjam bisa
jadi menjadi salah satu sebab signifikannya pertambahan karyawan. Meski
begitu, jika dilihat dari rata-rata karyawan di tiap unit kantor,
Danamon bukanlah yang terbesar. Danamon hanya menempatkan 37 karyawan
per unit kantor.
Bank dengan rata-rata jumlah karyawan per unit kantor terbanyak adalah
Panin Bank. Menurut data per November 2011, Panin menempatkan 107
karyawan di tiap kantornya. Total jumlah karyawan Panin sendiri
sebenarnya tidak banyak, hanya 5.479 karyawan. Besarnya rata-rata
karyawan per kantor yang dimiliki Panin bisa jadi sangat wajar. Kantor
layanan Panin hanya ada di kota-kota besar. Jumlah keseluruhan jaringan
kantor Panin adalah 51 kantor, yakni 1 kantor pusat, 48 kantor cabang, 1
kantor perwakilan di Singapura, dan 1 kantor cabang di Cayman Islands.
Pengeluaran untuk gaji dan tunjangan karyawan Panin hanya menghabiskan
7,3 persen dari total beban operasionalnya.
Dua bank beraset terbesar, Mandiri dan BRI berada dibawah Danamon dalam
jumlah tenaga kerja. Meski begitu harus digaris bawahi bahwa jumlah
riil kedua bank tersebut bisa jadi lebih banyak. Hal ini karena laporan
keuangan keduanya tidak memberi penjelasan secara mendetail seperti
Danamon.
Pada periode yang sama, Mandiri memiliki 27.305 karyawan, 2.069
karyawan lebih banyak dibanding periode sebelumnya. Sayangnya tak ada
keterangan detail apakah jumlah tersebut karyawan tetap saja atau
keseluruhan karyawan. Rata-rata karyawan per unit kantornya adalah 18
orang. Untuk pengeluaran gaji dan tunjangan, Mandiri menghabiskan Rp
4,86 triliun atau sekitar 17,7 persen dari total beban operasional.
Sementara BRI memiliki 38.228 karyawan per November 2011. Dibandingkan
bank besar lainnya, BRI relatif adem dalam menambah karyawan. Pada
periode ini hanya ada tambahan 584 karyawan. Di tiap unitnya bank tertua
di Indonesia ini hanya menempatkan 5 karyawan. Wajar karena jumlah
kantornya jauh lebih banyak dibandingkan bank lainnya dan sudah sampai
ke pelosok desa. Total kantor BRI mencapai 7.761 unit kantor.
Pengeluaran untuk gaji dan tunjangan karyawan BRI menghabiskan
22,1persen dari total Rp 28,23 triliun beban operasionalnya.
Jika mengacu pada data, bank yang paling tidak efisien kebanyakan
adalah bank beraset kecil. Bisa jadi hal ini karena skala operasionalnya
belum mencapai titik optimal. Tingkat efisiensi bank beraset besar
kebanyakan lebih baik dari rata-rata industri. Meski begitu dengan
pengetatan kebijakan outsourcing, efisiensi bank besar juga
berpotensi menurun. Perlu ada terobosan strategi baru untuk memitigasi
risiko inefisiensi operasional bank. Memaksimalkan kapasitas kerja
karyawan yang sudah ada dengan teknologi informasi misalnya.
(stabilitas.co.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar